Sistem
Perbankan Elektronik
Pada era
globalisasi saat ini banyak bermunculan istilah atau konsep-konsep baru dalam
kehidupan masyarakat, terutama dalam kegiatan perekonomian- baik pada level
ekonomi makro maupun ekonomi mikro. Bahkan konsep-konsep baru tersebut telah
mengarah ke ”teori-teori” baru yang ”melengkapi”, ”dipertentangkan” bahkan
”menggantikan” beberapa konsep atau teori ”lama”. Beberapa contoh konsep
tersebut diantaranya adalah digital economy, economic of internet, knowledge
based economy, e-commerce, e-marketing, e-business, e-finance, e-banking,
e-money, digital cash, dan less-cash society. Semua konsep-konsep baru tersebut
berkaitan dengan perkembangan dan penerapan TIK pada berbagai sektor
perekonomian.
”Suka atau
tidak suka, mau atau tidak mau, siap atau tidak siap, kita tetap harus
menghadapi globalisasi”. Itulah sepenggal pernyataan yang sering kita dengar
terkait dengan isu globalisasi. Pernyataan tersebut menggugah kita bersama
bahwa globalisasi sudah menjadi keniscayaan saat ini. Keniscayaan yang didorong
dan difasilitasi oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK)
yang sangat cepat. Salah satu bentuk keniccayaan adalah terbentuknya masyarakat
digital, yang di industri perbankan dikenal dengan istilah less-cash society.
Terbentuknya masyarakat digital tersebut di didorong oleh perkembangan dan
penerapan TIK yang sangat intensif di bidang perbankan- yang selanjutnya
disebut Electronic Banking atau disingkat E-Banking. “E-Banking dan Less-Cash Society”
inilah yang menjadi topik utama tulisan ini.
Beberapa
pernyataan yang menarik terkait dengan topik ini adalah ”Apakah masyarakat
digital sudah terbentuk, atau minimal ada tanda-tandanya di Indonesia?”,
”Bagaimana potensi digital economy untuk Indonesia yang masih menghadapi
masalah kesejahteraan?”, ”Bagaimana perkembangan teknologi E-banking di
Indonesia dikaitkan dengan pembentukan masyarakat digital di Indonesia?”, serta
“Bagaimana persepsi masyarakat tentang penggunaan E-Banking?”. Ulasan terhadap
dua pertanyan pertama merupakan pondasi mengenai pentingnya TIK dalam sektor
perekonomian, yang dilengkapi posisi Indonesia dalam hal pemanfaatan TIK di
lingkungan global. Ulasan yang lebih mendalam akan dilakukan untuk dua
pertanyaan yang terakhir, terutama dikaitkan dengan spektrum teknologi
E-banking dan Intenstitas pengggunaannya di Indonesia.
POSISI
INDONESIA DALAM PEMANFAATAN TIK
OECD
mendefinisikan Teknologi Informasi dan Komunikasi, selanjutnya disebut TIK,
sebagai rangkaian kegiatan yang difasilitasi peralatan elektronik yang mencakup
pengolahan, transmisi, dan penyajian informasi. TIK merupakan konvergensi dari
tiga wilayah yaitu teknologi informasi, data dan informasi, serta
masalah-masalah sosioekonominya. Jadi berbicara mengenai TIK tidak hanya
sebatas teknologinya itu sendiri tetapi juga harus mengkaji dan
mempertimbangkan dampak dari teknologi tersebut. Dengan kata lain, penguasaan
dan penerapan TIK secara umum seiring dengan berbagai dampal positif dan
negatif yang ditimbulkannya. Bagaimana tingkat penetrasi atau adopsi TIK di
Indonesia untuk tahun 2006, dapat dilihat pada Tabel berikut ini.
Indikator
Indonesia Rata-rata Asia Rata-rata Dunia
Total
Telpon per 100 penduduk 34,87 44,92 60,04
Cellular
Mobile per 100 penduduk 28,30 29,28 40,91
Main
Telpon per 100 penduduk 6,57 15,81 19,39
Internet
users per 100 penduduk 7,18 11,57 17,39
Broadband
subsciber per 100 penduduk 0,05 2,71 4,30Sumber: International Communication
Union (2007)
Terlihat
bahwa untuk semua indicator TIK di atas, Indonesia masih dibawah rata-rata Asia
dan Dunia. Mari kita perkembangan laju adopsi komputer dan internet di
Indonesia pada kurun waktu 2001 sampai 2006 seperti disajikan pada gambar di
bawah ini.
PC per
100 penduduk Pengguna Internet per 10000 penduduk Sumber: International
Telecommunication Union-ITU (diolah)
Penulis
hanya menggunakan dua negara sebagai pembanding yaitu India dan Cina dengan
pertimbangan sebagai negara-negara dengan jumlah penduduk yang tergolong
tinggi. Secara rata-rata, PC per 100 penduduk dan pengguna internet per 10000
penduduk Indonesia lebih tinggi dibandingkan India, namun lebih rendah dari
China, rata-rata Asia, dan rata-rata Dunia. Jika dibandingkan dengan dua Negara
ASEAN yaitu Malaysia dan Singapur, Indonesia relatif tertinggal cukup jauh
dilihat dari pengguna Internet per 100 penduduk. Pada tahun 2006,
berturut-turut data untuk Malaysia, Singapur dan Indonesia adalah 43,77; 39,21
dan 7,18 (ITU, 2006). Angka tersebut menunjukkan bahwa masyarakat pengguna
internet di Indonesia kurang dari 10%, sedangkan kedua Negara ASEAN tersebut
sudah mendekati 50%.
Selain
secara rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata Asia dan Dunia,
percepatan adopsi TIK di Indonesia juga lebih lamban dibandingkan pertumbuhan
Asia dan dunia, kecuali untuk Handphone. Pada kurun waktu 2001-2006, laju
pertumbuhan pengguna telpon di Indonesia tercatat sebesar 57,58%, sedangkan
laju pertumbuhan Asia dan dunis tercatat sebesar 27,2% dan 22,8%.
Masih
rendahnya tingkat adopsi PC dan pengguna internet tersebut menjadi tantangan
tersendiri bagi para penggiat di bidang teknologi informasi dan komunikasi di
Indonesia, termasuk para lulusan STMIK Pradya Paramitra sekalian. Selanjutnya
mari kita lihat tiga indikator lainnya, yaitu indeks pengembangan TIK, E-Readiness
ranking, dan Network Readiness Index. Secara umum perkembangan ketiga indikator
tersebut juga setali tiga uang dengan dua indikator sebelumnya, yaitu posisi
Indonesia yang masih relatif terpuruk di lingkungan global.
PBB
melalui UNCTAD membuat indeks pengembangan ICT yang diukur berdasarkan 4
dimensi yaitu keterhubungan (connectivity), akses (access), kebijakan (policy),
dan penggunaan (diffusion). Nilai indeks tersebut berkisar dari 0 (terendah)
sampai 1 (tertinggi). Nilai indeks ICT untuk Indonesia untuk keempat dimensi
tersebut berturut-turut adalah 0.0211, 0.4592, 0.5000, dan 0.2401. Berdasarkan
nilai indeks difusi ICT, Indonesia menduduki ututan ke 77 dari 171 negara.
Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih dibawah Singapura yang menempati
urutan 14, Brunei urutan ke-40, Malaysia urutan ke-43, dan Filipina urutan
ke-59; tetapi masih lebih tinggi dibandingkan Thailand pada urutan ke-92 dan
Vietnam urutan ke-113 (UNCTAD, 2003).
Lembaga
lain, yaitu The Economist bekerja sama dengan IBM Institute for Business Value
mengeluarkan E-readiness ranking untuk tahun 2004. Indonesia memperoleh nilai
keseluruhan sebesar 3.39 atau menempati ranking ke-59 dari 64 negara yang
disurvey. Ranking Indonesia tersebut lebih rendah dibandingkan Singapura yang menempati
urutan ke-7, Malaysia ke-33, Thailand ke-43, Filipina ke-49; dan hanya 1
tingkat lebih tinggi dibandingkan Vietnam yang menempati urutan ke- 60.
Indikator yang terakhir adalah Networked Readiness Index (NRI) yang
dikembangkan oleh Center for International Development (CID) di Harvard
University. NRI didefinisikan sebagai derajat sebuah komunitas siap untuk
berpartisipasi dalam dunia yang terhubung jaringan (networked world). Nilai NRI
Indonesia adalah 3.24 dan menempati urutan ke-59 dari 75 negara yang disurvey.
Melihat
indikator-indikator tersebut di atas, posisi Indonesia memang sangat
memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Tetapi, sekali lagi, bukan berarti kita
harus pesimis dan rendah diri di lingkungan global. Posisi tersebut seharusnya
menjadi tantangan dan menjadi pemicu dan pemacu semangat dan motivasi untuk SDM
Indonesia, khususnya para calon ahli-ahli teknologi informasi. Kita harus
melihat potensi TIK dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi, atau bagaimana
mengintegrasikan penggunaan TIK dalam kegiatan ekonomi itu sendiri. Kita pun
semestinya tertantang untuk membuktikan dugaan atau hipotesis tentang hubungan
antara tingkat penguasaan dan penerapan TIK dengan kemajuan sebuah negara atau
bangsa.
DIGITAL
DIVIDE DAN DIGITAL ECONOMY
Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi yang relatif cepat dewasa ini telah
mempengaruhi perkembangan perekonomian dunia. Pada kurun waktu 1999 sampai
2000, negara-negara sedang berkembang di wilayah asia pasifik, termasuk
Indonesia menunjukkan bahwa difusi teknologi informasi berkorelasi positif
cukup kuat dengan tingkat pendapatan per kapita- salah satu ukuran
kesejahteraan sebuah negara (Kim, 2004). Tetapi masalahnya adalah – seperti
telah dijelaskan sebelumnya, penggunaan TIK di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan
dengan negara-negera lain. Perbedaan atau kesenjangan penggunaan TIK di antara
berbagai negara tersebut tentunya menimbulkan dugaan bahwa tingkat penggunaan
TIK mungkin menjadi salah satu faktor yang relatif signifikan terhadap
perbedaan pertumbuhan ekonomi di antara negara-negara.
Kajian
teknologi informasi dan komunikasi dari perspektif ekonomi makro telah
dilakukan oleh Papageorgiou (2000), yang menjelaskan model atau teori
pertumbuhan yang ditentukan oleh kombinasi modal sumber daya manusia dan adopsi
teknologi. Model terdiri dari 2 bagian yaitu model untuk negara yang sudah maju
teknologinya dan negara yang sedang berkembang. Model memprediksi bahwa negara
berkembang mempunyai kesempatan untuk mencapai pertumbuhan tinggi melalui
adopsi teknologi jika kesenjangan teknologinya relatif dekat ke technology
frontier.
Beilock
dan Dimitrova (2003) meneliti hubungan antara jumlah pengguna internet per
10,000 penduduk dengan GDP per kapita, infrastruktur, dan faktor non-ekonomi.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa GDP per kapita merupakan determinan yang
paling penting terhadap jumlah pengguna internet. Jadi dari data penelitian
tersebut dapat disimpulkan bahwa negara-negara yang tingkat penggunaan TIK
relatif tinggi secara umum mempunyai pendapatan per kapita yang tinggi. Beilock
dan Dimitrova (2003) selanjutnya menyatakan bahwa semakian tinggi pendapatan
per kapita yang mendorong semakin tingginya pengguna internet disebabkan oleh
dua alasan. Pertama, ketika pendapatan individual meningkat, maka individu
tersebut mampu memperoleh barang dan jasa tambahan, termasuk akses internet.
Kedua, pendapatan yang tinggi secara umum berhubungan dengan tingkat pendidikan
yang tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang memungkinkan untuk
memiliki ketrampilan yang diperlukan untuk menggunakan teknologi internet. Jadi
TIK berhubungan erat dengan pengembangan sumber daya manusia.
Konsep
digital divide yang menunjukkan kesenjangan tingkat penggunaan teknologi antara
negara maju dan negara berkembang, atau antara satu komunitas tertentu dengan
komunitas lainnya, menimbulkan anggapan bahwa penguasaan teknologi berhubungan
dengan tingkat kesejahteraan masyarakat atau angka kemiskinan. Flor (2001)
menyatakan bahwa ada empat paradigma yang bisa digunakan untuk menganalisis
kemiskinan, yaitu paradigma teknologis, paradigma ekonomi, paradigma
struktural, dan paradigma kultural. Paradigma teknologis menyatakan bahwa
penyebab utama kemiskinan adalah keterbatasan ketrampilan teknologi di
negara-negara berkembang.
Menurut
Quibria dan Tschang (2001), TIK memiliki potensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui dua cara, yaitu langsung dan tidak langsung.
Pengaruh langsung mencakup (a) informasi mengenai pasar, peluang, dan
lain-lain, (b) kesempatan kerja, (c) ketrampilan dan pendidikan, (d)
pemeliharaan kesehatan, (e) pemberian layanan pemerintah, dan (f) pemberdayaan.
TIK juga bisa meningkatkan kesejahteraan secara tidak langsung melalui
pertumbuhan (ekonomi) yang cepat, yang memberikan trikledown effect terhadap
perbaikan pendapatan dan kesempatan kerja.
TEKNOLOGI
E-BANKING
Salah
satu sektor yang paling dramatis terpengaruh oleh perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi adalah sektor keuangan, terutama perbankan. Sebelumnya
mari kita lihat kilas balik dan perkembangan terkini mengenai perbankan
Indonesia. Setelah lebih dari seperempat abad terhitung dari deregulasi pada
tahun 1983, perbankan Indonesia telah mengalami berbagai gonjang-ganjing yang
sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia. Titik nadir perbankan sendiri
terjadi menjelang krisis multidimensi yang terjadi pada tahun 1997 yang dikenal
sebagai krisis moneter. Beberapa tonggak penting perjalanan dalam kurun waktu
tersebut adalah sebagai berikut.
Kilas
Balik Perbankan Indonesia
1. Paket
1 Juni 1983 merupakan salah satu tonggak penting yang mengubah arah perbankan
nasional yang tadinya belum mengikuti mekanisme pasar, atau dengan kata lain,
mulai diterapkannya equal treatment antara bank pemerintah dengan bank swasta.
2.
Kebijakan Oktober 1988 menjadi faktor utama terjadinya booming pendirian bank
dengan memberikan kemudahan bagi para investor. Dalam kurun waktu 3 tahun
sesudahnya, tercatat jumlah bank meningkat dari 111 bank pada tahun 1988
menjadi 182 bank pada pertengahan 1991. Pertumbuhan bank beserta kegiatan
penyaluran dana bank yang luar biasa tersebut akhirnya berujung pada tindakan
kebijakan uang ketat (Tight Money Policy) yang diambil oleh Bank Indonesia pada
Tahun 1990.
3.
Pakfeb 1991, yang bertujuan untuk mengembangkan dunia perbankan menjadi lembaga
keuangan yang sehat, kuat, dan tangguh serta lebih dipercaya baik dalam tingkat
nasional maupun global. Sistem penilaian kesehatan bank dengan CAMEL mulai
diterapkan oleh Bank Indonesia, termasuk penetapan nilai CAR sebesar 8 persen yang
harus dipenuhi mulai tahun 1993.
4. Bom
waktu perbankan akhirnya meledak, dan tidak tanggung-tanggung dampak letusannya
terhadap perekonomian Indonesia. Pada November 1997 sejumlah bank mulai rontok
yang diawali dengan ditutupnya 16 bank yang akhirnya menyeret Indonesia ke
krisis moneter yang tak terlupakan dalam sejarah perekonomian Indonesia.
5. Pada
tahun 1998 dibentuk BPPN sebagai lembaga yang berusaha untuk menyelamatkan
wajah perbankan Indonesia. BPPN lahir sebagai salah satu butir dalam serangkaian
Letter of Intent (LOI) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF, dengan LOI
pertamanya ditandatangani pada 1 November 1997. Pembentukan BPPN ini dianggap
sebagai awal proses rehabilitasi terhadap industri perbankan. Pada tahun 1998,
dari 55 bank yang dirawat oleh BPPN ternyata 10 bank tidak tertolong
(dilikuidasi), 4 bank harus masuk unit gawat darurat (direkapitalisasi), dan
sisanya masih terus dirawat intensif. Pada maret 1999 38 bank kembali tak
tertolong, 9 bank direkapitalisasi, dan 7 bank diambil alih.
6.
Perbankan Indonesia sudah memasuki tahap konsolidasi yang ditandai dengan
diluncurkannya Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Bank Indonesia telah
meluncurkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) pada bulan Januari 2004,
sebagai awal dari tahap konsolidasi perbankan Indonesia. Ke dapannya, bank-bank
Indonesia digolongkan kedalam 4 kelompok bank yaitu bank Internasional, bank
nasional, bank fokus, dan bank dengan cakupan usaha terbatas. Pengelompokkan
bank tersebut didasarkan pada kemampuan modalnya.
7.
Terakhir adalah paket Oktober 2006 (Pakto) yang dikeluarkan oleh BI. Salah satu
maksudnya adalah untuk mendorong perbankan nasional dalam meningkatkan
penyaluran kredit tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian. Pakto ini mencakup
13 Peraturan Bank Indonesia, dua diantaranya adalah mengenai pelarangan
kepemilikan tunggal dan pelaksanaan Good Corporate Governance.
Kilas
balik yang penuh gejolak tersebut tidak menghalangi peranan perbankan sebagai
sub sektor ekonomi yang paling sentral peranannya dalam memobilisasi dana
masyarakat. Mengacu ke laporan Bank Indonesia, sampai dengan bulan Juli 2007,
jumlah bank yang beroperasi di Indonesia tercatat sebanyak 130 bank umum dan
1816 BPR. Total aset perbankan nasional adalah Rp 1.801.094,- Milyar, belum
termasuk asset BPR sebesar Rp 25.140,- Milyar. Total simpanan masyarakat atau
dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh bank umum adalah adalah sebesar
Rp 1.562.070,- Milyar dan oleh BPR sebanyak Rp 20.537,- Milyar. Memang sebuah
angka yang luar biasa dan terus meningkat dari tahun ke tahun, seperti
ditunjukkan pada grafik di bawah ini.
Asset,
Sumber, dan penyaluran dana Jumlah Kantor
Angka-angka
tersebut menunjukkan beberapa hal yang menarik. Pertama, masyarakat Indonesia
masih menaruh kepercayaan terhadap perbankan sebagai alternatif investasi dan
sebagai institusi penyimpanan dana. Fungsi agent of trust ini tentunya membawa
konsekuensi terhadap pentingnya masalah intergritas institusi dan individu di
bidang perbankan.
Kedua,
angka tersebut menunjukkan dominasi atau ketergantungan terhadap bank sebagai
lembaga penyimpan sekaligus lembaga pembiayaan dalam perekekonomian Indonesia.
Total aset perbankan yang lebih dari 1800 triliun tersebut adalah dua kali
lipat dari PDB Indonesia, yang sampai triwulan I 2007 tercatat sebesar 915,9
triliun. Angka tersebut juga terlihat luar biasa dibandingkan dengan total aset
perusahaan asuransi jiwa- yang tercatat hanya sebesar Rp 82 triliun pada
kuartal II 2007. Ketergantungan tersebut tentunya- di sisi lain, memang mengandung
resiko tinggi jika tidak dikelola dengan baik oleh pelaku-pelaku di industri
perbankan.
Ketiga,
jumlah aset dan dana masyarakat yang luar biasa tersebut tentunya memerlukan
kapasitas atau produktifitas yang tinggi, baik secara institusi maupun Sumber
Daya Manusia di bidang perbankan. Sebagai ilustrasi, dengan jumlah kantor bank
umum sebanyak 9492 maka setiap kantor harus mengelola dana masyarakat sekitar
Rp 165 Milyar per kantor. Jika dana masyarakat dibagi dengan jumlah karyawan
bank yang berjumlah sekitar 100.000 orang maka setiap karyawan bank mengelola
dana masyarakat sekitar Rp 15 Milyar per orang. Kapasitas intitusi dan individu
yang bergerak di industri perbankan tersebut tentunya memerlukan fasilitas atau
alat bantu dalam pengolahaan dana dan berbagai layanan jasa keuangan terkait
lainnya. Disinilah fungsi dari teknologi informasi dan komunikasi di industri
perbankan.
Penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi di perbankan nasional relatif lebih maju
dibandingkan sektor lainnya. Berbagai jenis teknologinya diantaranya meliputi
Automated Teller Machine, Banking Application System, Real Time Gross
Settlement System, Sistem Kliring Elektronik, dan internet banking. Bank
Indonesia sendiri lebih sering menggunakan istilah Teknologi Sistem Informasi (TSI)
Perbankan untuk semua terapan teknologi informasi dan komunikasi dalam layanan
perbankan. Istilah lain yang lebih populer adalah Electronic Banking.
Electronic banking mencakup wilayah yang luas dari teknologi yang berkembang
pesat akhir-akhir ini. Beberapa diantaranya terkait dengan layanan perbankan di
“garis depan” atau front end, seperti ATM dan komputerisiasi (sistem)
perbankan, dan beberapa kelompok lainnya bersifat back end, yaitu
teknologi-teknologi yang digunakan oleh lembaga keuangan, merchant, atau
penyedia jasa transaksi, misalnya electronic check conversion.
Saat ini
sebagian besar layanan E-banking terkait langsung dengan rekening bank. Jenis
E-Banking yang tidak terkait rekening biasanya berbentuk nilai moneter yang
tersimpan dalam basis data atau dalam sebuah kartu (chip dalam smartcard).
Dengan semakin berkembangnya teknologi dan kompleksitas transaksi, berbagai
jenis E-banking semakin sulit dibedakan karena fungsi dan fiturnya cenderung
terintegrasi atau mengalami konvergensi. Sebagai contoh, sebuah kartu plastik
mungkin memiliki “magnetic strip”- yang memungkinkan transaksi terkait dengan
rekening bank, dan juga memiliki nilai moneter yang tersimpan dalam sebuah
chip. Kadang kedua jenis kartu tersebut disebut “debit card” oleh merchant atau
vendor. Beberapa gambaran umum mengenai jenis-jenis teknologi E-Banking dapat
dilihat di bawah ini.
Jenis-Jenis
Teknologi E-Banking
Automated
Teller Machine (ATM). Terminal elektronik yang disediakan lembaga keuangan atau
perusahaan lainnya yang membolehkan nasabah untuk melakukan penarikan tunai
dari rekening simpanannya di bank, melakukan setoran, cek saldo, atau
pemindahan dana.
Computer
Banking. Layanan bank yang bisa diakses oleh nasabah melalui koneksi internet
ke pusat data bank, untuk melakukan beberapa layanan perbankan, menerima dan
membayar tagihan, dan lain-lain.
Debit
(or check) Card. Kartu yang digunakan pada ATM atau terminal point-of-sale
(POS) yang memungkinkan pelanggan memperoleh dana yang langsung didebet
(diambil) dari rekening banknya.
Direct
Deposit. Salah satu bentuk pembayaran yang dilakukan oleh organisasi (misalnya
pemberi kerja atau instansi pemerintah) yang membayar sejumlah dana (misalnya
gaji atau pensiun) melalui transfer elektronik. Dana ditransfer langsung ke
setiap rekening nasabah.
Direct
Payment (also electronic bill payment). Salah satu bentuk pembayaran yang
mengizinkan nasabah untuk membayar tagihan melalui transfer dana elektronik.
Dana tersebut secara elektronik ditransfer dari rekening nasabah ke rekening
kreditor. Direct payment berbeda dari preauthorized debit dalam hal ini,
nasabah harus menginisiasi setiap transaksi direct payment.
Electronic
Bill Presentment and Payment (EBPP). Bentuk pembayaran tagihan yang disampaikan
atau diinformasikan ke nasabah atau pelanggan secara online, misalnya melalui
email atau catatan dalam rekening bank. Setelah penyampaian tagihan tersebut,
pelanggan boleh membayar tagihan tersebut secara online juga. Pembayaran
tersebut secara elektronik akan mengurangi saldo simpanan pelanggan tersebut.
ELectronic
Check Conversion. Proses konversi informasi yang tertuang dalam cek (nomor
rekening, jumlah transaksi, dll) ke dalam format elektronik agar bisa dilakukan
pemindahan dana elektronik atau proses lebih lanjut.
Electronic
Fund Transfer (EFT). Perpindahan “uang” atau “pinjaman” dari satu rekening ke
rekening lainnya melalui media elektronik.
Payroll
Card. Salah satu tipe “stored-value card” yang diterbitkan oelh pemberi kerja
sebagai pengganti cek yang memungkinkan pegawainya mengakses pembayaraannya
pada terminal ATM atau Point of Sales. Pemberi kerja menambahkan nilai
pembayaran pegawai ke kartu tersebut secara elektronik.
Preauthorized
Debit (or automatic bill payment). Bentuk pembayaran yang mengizinkan nasabah
untuk mengotorisasi pembayaran rutin otomatis yang diambil dari rekening
banknya pada tanggal-tangal tertentu dan biasanya dengan jumlah pembayaran
tertentu (misalnya pembayaran listrik, tagihan telpon, dll). Dana secara
elektronik ditransfer dari rekening pelanggan ke rekening kreditor (misalnya
PLN atau PT Telkom).
Prepaid
Card. Salah satu tipe Stored-Value Card yang menyimpan nilai moneter di
dalamnya dan sebelumnya pelanggan sudah membayar nilai tersebut ke penerbit
kartu.
Smart
Card. Salah satu tipe stored-value card yang di dalamnya tertanam satu atau
lebih chips atau microprocessors sehingga bisa menyimpan data, melakukan
perhitungan, atau melakukan proses untuk tujuan khusus (misalnya validasi PIN,
otorisasi pembelian, verifikasi saldo rekening, dan menyimpan data pribadi).
Kartu ini bisa digunakan pada sistem terbuka (misalnya untuk pembayaran
transportasi publik) atau sistem tertutup (misalnya MasterCard atau Visa
networks).
Stored-Value
Card. Kartu yang di dalamnya tersimpan sejumlah nilai moneter, yang diisi
melalui pembayaran sebelumnya oleh pelanggan atau melalui simpanan yang
diberikan oleh pemberi kerja atau perusahaan lain. Untuk single-purpose stored
value card, penerbit (issuer) dan penerima (acceptor) kartu adalah perusahaan
yang sama dan dana pada kartu tersebut menunjukkan pembayaran di muka untuk
penggunaan barang dan jasa tertentu (misalnya kartu telpon). Limited-purpose
card secara umum digunakan secara terbatas pada terminal POS yang
teridentifikasi sebelumnya di lokasi-lokasi tertentu (misalnya vending machines
di sekolah-sekolah). Sedangkan multi-purpose card dapat digunakan pada beberapa
penyedia jasa dengan kisaran yang lebih luas, misalnya kartu dengan logo
MasterCard, Visa, atau logo lainnya dalam jaringan antar bank.
ALAT
PEMBAYARAN MENGGUNAKAN KARTU DI INDONESIA
Belakangan
ini masyarakat perkotaan di Indonesia mulai terbiasa untuk menggunakan alat
pembayaran non tunai untuk berbagai keperluan pembayaran, antara lain kartu
kredit, kartu debet, kartu ATM dan kartu prabayar. Penggunaan kartu prabayar
diyakini akan menjadi trend mekanisme pembayaran di masa mendatang, misalnya
untuk membayar bahan bakar di pompa bensin, tiket tol, pembelian barang dan
berbagai jasa-jasa lainnya.
Semua
proses aktivitas pembayaran melalui berbagai jenis alat pembayaran ini diproses
oleh berbagai penyelenggara sistem pembayaran seperti bank dan nonbank.
Institusi inilah yang nantinya menyelenggarakan jasa mulai proses pengiriman
dana, kliring hingga settlement. Pemakaian kartu prabayar dalam mekanisme transaksi
adalah bagian dari evolusi alat pembayaran dari uang tunai sampai ke
bentuk-bentuk non-tunai. Misalnya alat pembayaran dalam bentuk kertas (paper
based) seperti cek, wesel, bilyet giro hingga ke elektronik seperti kartu
prabayar hingga ke wujud digital (digital cash).